Sejarah Kerajaan Tarumanagara
Dalam kisaran sejarah kerajaan hindu budha di Indonesia tak bisa dilepaskan dari keberadaan Kerajaan Tarumanagara. Sebuah kerajaan Hindu aliran wisnu di sebelah barat pulau jawa, atau sekarang Jawa Barat.
Hakikatnya kemunculan kerajaan ini tidak bias dilepaskan dari kemunculan kerajaan Salakanagara sebagai penguasa pantai barat wilayah jawa.
Bahkan diyakini justru keturunan dari Raja-Raja Salakanagara lah yang menjadi cikal bakal kemunculan Tarumanagara.
Denagn beberapa fakata yang munculan seperti ditemukannya tujuh buah prasasti yang bersangkut paut degan keberadaa kerajaan tarumanagara beserta beberapa peninggalan yang ditemukan dapat sedikitnya diambil kesimpulan mengenai kerajaan ini.
Pembahasan
A. Sejarah Kerajaan Tarumanagara
Tarumanagara merupakan salah satu kerajaan besar yang beraliran Hindu wisnu. Kadang kerajaan ini sering juga disebut dengan nama kerajaan Taruma. Letaknya ada di sekitar pesisir sungai Cisadane dan Ciliwung yag berkuasa pada abad ke 4 hingga abad ke 7 masehi.
Selain kerajaan Kutai di Kalimantan Timur, Tarumanagara adalah salah satu kerajaan tertua di nusantara yang meninggalkan catatan-catatan sejarah. Seperti prasasti maupun artefak lainnya.
Sebenarnya keberadaan kerajaan ini masih terjadi simpang siur. Karena keterbatasan bahan bukti yag ditemukan. Akan tetapi sedikitnya bukti-bukti sejarah itu tak membuat para sejarawan menyerah untuk memetakan dimanakah letak kerajaan tarumanagara.
Bukti keberadaan kerajaan Taruma diketahui dari sumber-sumber yang antara lain adalah tujuh buah prasasti yang ditemukan empat di bogor, satu di Jakarta, dan satu di Lebak Banten. Dari prasasti-prasasti ini diketahui bahwa kerajaan dipimpin oleh Rajadirajaguru Jayasingawarman pada tahun 358 M sampai 382 M.
Untuk mengetahui letak dimana kerajaan ini berdiri, mari kita lihat prasasti Tugu peninggalan raja Purnawarman, disebutkan bahwa sang Raja Purnawarman telah menggali sebuah sungai bernama Candrabhaga yang melalui keratin. Dari kata Candrabhaga, Prof. Poerbotjakoro membuat tafsiran bahwa Candrabhaga tidak lain adalah bekasi. Candra berarti bulan atau sasih. Candrabhaga adalah bahasa sansakerta yang susunannya tidak berdasarkan hokum D-M. Kalau disusun berdasarkan hokum D-M, susunannya harus bhagacandra. Candra adalah bulan atau sasih. Jadi bhagacandra berubah menjadi bagasasih, kemudian berubah lagi menjadi bagasi, lalu bekasi (Purbotjakoro, 1952: 12-14). Karena keraton itu dilalui sungai candrabhaga, mungkin sekali bahwa keraton itu letaknya di daerah Bekasi sekarang.
Sumber-sumber dari luar negeri semuanya berasal dari berita Tiongkok.
1. Berita Fa Hien, tahun 414M dalam bukunya yang berjudul Fa Kao Chi menceritakan bahwa di Ye-po-ti ("Jawadwipa") hanya sedikit dijumpai orang-orang yang beragama Buddha, yang banyak adalah orang-orang yang beragama Hindu dan "beragama kotor" (maksudnya animisme).
2. Berita Dinasti Sui, menceritakan bahwa tahun 528 dan 535 telah datang utusan dari To-lo-mo ("Taruma") yang terletak di sebelah selatan.
3. Berita Dinasti Tang, juga menceritakan bahwa tahun 666 dan 669 telah datang utusan dari To-lo-mo.
Dari tiga berita di atas para ahli menyimpulkan bahwa istilah To-lo-mo secara fonetis penyesuaian kata-katanya sama dengan Tarumanegara.
Maka berdasarkan sumber-sumber yang telah dijelaskan sebelumnya maka dapat diketahui beberapa aspek kehidupan tentang Taruma.
Kerajaan Tarumanegara diperkirakan berkembang antara tahun 400-600 M. Berdasarkan prasasti-prasasti tersebut diketahui raja yang memerintah pada waktu itu adalah Purnawarman. Wilayah kekuasaan Purnawarman menurut prasasti Tugu, meliputi hampir seluruh Jawa Barat yang membentang dari Banten, Jakarta, Bogor dan Cirebon.
B. Naskah Wangsakerta
Ada satu naskah kuno yang mempunyai penjelasan cukup jelas mengenai kerajaa Tarumanagara. Nama naskah tersebut adalah naskah wangsakerta. Namun saying keberadaan naskah ini menimbulkan polemik diantara para sejarawan yang meragukan naskah-naskah ini menjadi rujukan sejarah.
Dalam naskah dari cirebon itu, tarumanagara didirikan oleh rajadirajaguru jayasingawarman pada tahun 358 M. yang kemudian digantikan oleh putranya, dharmayawarman pada 382-395 M. Sang pendiri kerajaan dimakamkan di tepi kali Gomati. Sementara putranya di tepi sungai Canndrabhaga.
Pada 395-434 M, diangkatlah Ournawarman menjadi raja dari kerajaan Tarumanagara. Ia membangun ibukota kerajaan yang baru di tahun 397 M yang lebih dekat ke pantai di sundapura.
Prasasti Pasir Muara yang menyebutkan peristiwa pengembalian pemerintahan kepada raja sunda itu dibuat pada 536 M. Pada saat itu yang menjadi penguasa Tarumanagara adalah Suryawarman yang merupakan raja ketujuh dan memrintah dari tahun 535-561 M.
Dalam masa pemerintahan Candrawarman (515-535 M), ayah suyrawarman banyak penguasa daerah yang menerima kembali kekuasaan pemerintahan atas daerahnya sebagai hadiah atas kesetiannya terhadap tarumanagara. Maka dapat dikatakan bila Suryawarman melakukan hal sama yang dilakukan oleh politik ayahnya.
Dalam sumber-sumber tersebut dijelaskan bahwa purnawarman berhassil menguasai dan menundukkan musuh-musuhnya. Prasasti munjul di pandeglang menunjukkan bahwa wilayah kekuasaannya mencangkup pula pantai selat sunda. Dalam pada itu kekuasaan purnawarman terdapat 48 raja daerah yang membentang dari salakanagara atau rajataputra di daerah teluk lada pandeglang sampai ke pruwalingga (sekarang purbolinggo) di jawa tengah. Secara tradsisional Cipamali (kali bribes) memang dianggap batas kekuasaan raja-raja jawa barat pada masa silam.
Suryawarman tidak hanya melanjutkan kebijakan politik ayahnya yang memberikan kepercayaan lebih banyak kepada raja daerah untuk mengurus pemerintahannya sendiri, melainkan juga mengalihkan perhatiannya ke wilayah timur. Misalnya Maninkaya menantu suryawarman mendirikan kerajaan baru didaerah kendan, daerah nagreg antara bandung dan limbangan, garut. Yang kelak memunculkan kerajaan galuh dalam tahun 612 M.
Tarumanagara sendiri bertahan hingga pada 669 M dengan masa pemerintahan 12 orang raja. Linggawarman, raja trauma terakhir, digantikan oleh menantunya, Tarusbawa. Linggawarman memiliki dua orang puteri. Yang sulung bernama Manasih dan menjadi istri Tarusbawa dari Sunda, dan yang kedua bernama Sobakancana menjadi istri Dapunthayang Sri Jayanasa pendiri kerajaan sriwijaya. Secara otomatis, takhta kekuasaan tarumanagara jatuh ketangan menantunya dari putrid sulungnya yaitu tarusbawa.
Berakhirnya kekuasaan tarumanagara karena tarusbawa ingin kembali ke daerah asalnya di kerajaan sunda. Sunda sendiri pada saat itu berada di dalam kekuasaan tarumanagara. Atas pengalihan kekuasaan ke sunda ini, hanya galuh yang tidak sepakat dan memutuskan untuk berpisah dari sunda yang mewarisi wilayah tarumanagara.
Raja-raja Tarumanegara
No Raja Masa pemerintahan
1 Jayasingawarman 358-382
2 Dharmayawarman 382-395
3 Purnawarman 395-434
4 Wisnuwarman 434-455
5 Indrawarman 455-515
6 Candrawarman 515-535
7 Suryawarman 535-561
8 Kertawarman 561-628
9 Sudhawarman 628-639
10 Hariwangsawarman 639-640
11 Nagajayawarman 640-666
12 Linggawarman 666-669
C. Prasasti Kerajaan Tarumanagara
1. Prasasti Kebon Kopi, dibuat sekitar 400 M (H Kern 1917), ditemukan di perkebunan kopi milik Jonathan Rig, Ciampea, Bogor
2. Prasasti Tugu, ditemukan di Kampung Batutumbu, Desa Tugu, Kecamatan Tarumajaya, Kabupaten Bekasi, sekarang disimpan di museum di Jakarta. Prasasti tersebut isinya menerangkan penggalian Sungai Candrabaga oleh Rajadirajaguru dan penggalian Sungai Gomati oleh Purnawarman pada tahun ke-22 masa pemerintahannya.Penggalian sungai tersebut merupakan gagasan untuk menghindari bencana alam berupa banjir yang sering terjadi pada masa pemerintahan Purnawarman, dan kekeringan yang terjadi pada musim kemarau.
3. Prasasti Cidanghiyang atau Prasasti Munjul, ditemukan di aliran Sungai Cidanghiang yang mengalir di Desa Lebak, Kecamatan Munjul, Kabupaten Pandeglang, Banten, berisi pujian kepada Raja Purnawarman.
4. Prasasti Ciaruteun, Ciampea, Bogor
5. Prasasti Muara Cianten, Ciampea, Bogor
6. Prasasti Jambu, Nanggung, Bogor
7. Prasasti Pasir Awi, Citeureup, Bogor
Lahan tempat prasasti itu ditemukan berbentuk bukit rendah berpermukaan datar dan diapit tiga batang sungai: Cisadane, Cianten dan Ciaruteun. Sampai abad ke-19, tempat itu masih dilaporkan dengan nama Pasir Muara. Dahulu termasuk bagian tanah swasta Ciampea. Sekarang termasuk wilayah Kecamatan Cibungbulang.
Kampung Muara tempat prasasti Ciaruteun dan Telapak Gajah ditemukan, dahulu merupakan sebuah "kota pelabuhan sungai" yang bandarnya terletak di tepi pertemuan Cisadane dengan Cianten. Sampai abad ke-19 jalur sungai itu masih digunakan untuk angkutan hasil perkebunan kopi. Sekarang masih digunakan oleh pedagang bambu untuk mengangkut barang dagangannya ke daerah hilir.
Prasasti pada zaman ini menggunakan aksara Sunda kuno, yang pada awalnya merupakan perkembangan dari aksara tipe Pallawa Lanjut, yang mengacu pada model aksara Kamboja dengan beberapa cirinya yang masih melekat. Pada zaman ini, aksara tersebut belum mencapai taraf modifikasi bentuk khasnya sebagaimana yang digunakan naskah-naskah (lontar) abad ke-16.
a. Prasasti Pasir Muara
Di Bogor, prasasti ditemukan di Pasir Muara, di tepi sawah, tidak jauh dari prasasti Telapak Gajah peninggalan Purnawarman. Prasasti itu kini tak berada ditempat asalnya. Dalam prasasti itu dituliskan :
ini sabdakalanda rakryan juru panga-mbat i kawihaji panyca pasagi marsa-n desa barpulihkan haji su-nda
Terjemahannya menurut Bosch:
Ini tanda ucapan Rakryan Juru Pengambat dalam tahun (Saka) kawihaji (8) panca (5) pasagi (4), pemerintahan begara dikembalikan kepada raja Sunda.
Karena angka tahunnya bercorak "sangkala" yang mengikuti ketentuan "angkanam vamato gatih" (angka dibaca dari kanan), maka prasasti tersebut dibuat dalam tahun 458 Saka atau 536 Masehi.
b. Prasasti Ciaruteun
Prasasti Ciaruteun ditemukan pada aliran Ciaruteun, seratus meter dari pertemuan sungai tersebut dengan Cisadane; namun pada tahun 1981 diangkat dan diletakkan di dalam cungkup. Prasasti ini peninggalan Purnawarman, beraksara Palawa, berbahasa Sansekerta. Isinya adalah puisi empat baris, yang berbunyi:
vikkrantasyavanipateh shrimatah purnavarmmanah tarumanagararendrasya vishnoriva padadvayam
Terjemahannya menurut Vogel:
Kedua (jejak) telapak kaki yang seperti (telapak kaki) Wisnu ini kepunyaan raja dunia yang gagah berani yang termashur Purnawarman penguasa Tarumanagara.
Selain itu, ada pula gambar sepasang "pandatala" (jejak kaki), yang menunjukkan tanda kekuasaan &mdash& fungsinya seperti "tanda tangan" pada zaman sekarang. Kehadiran prasasti Purnawarman di kampung itu menunjukkan bahwa daerah itu termasuk kawasan kekuasaannya. Menurut Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara parwa II, sarga 3, halaman 161, di antara bawahan Tarumanagara pada masa pemerintahan Purnawarman terdapat nama "Rajamandala" (raja daerah) Pasir Muhara.
c. Prasasti Telapak Gajah
Prasasti Telapak Gajah bergambar sepasang telapak kaki gajah yang diberi keterangan satu baris berbentuk puisi berbunyi:
jayavi s halasya tarumendrsaya hastinah airavatabhasya vibhatidam padadavayam
Terjemahannya:
Kedua jejak telapak kaki adalah jejak kaki gajah yang cemerlang seperti Airawata kepunyaan penguasa Tarumanagara yang jaya dan berkuasa.
Menurut mitologi Hindu, Airawata adalah nama gajah tunggangan Batara Indra dewa perang dan penguawa Guntur. Menurut Pustaka Parawatwan i Bhumi Jawadwipa parwa I, sarga 1, gajah perang Purnawarman diberi nama Airawata seperti nama gajah tunggangan Indra. Bahkan diberitakan juga, bendera Kerajaan Tarumanagara berlukiskan rangkaian bunga teratai di atas kepala gajah. Demikian pula mahkota yang dikenakan Purnawarman berukiran sepasang lebah.
Ukiran bendera dan sepasang lebah itu dengan jelas ditatahkan pada prasasti Ciaruteun yang telah memancing perdebatan mengasyikkan di antara para ahli sejarah mengenai makna dan nilai perlambangannya. Ukiran kepala gajah bermahkota teratai ini oleh para ahli diduga sebagai "huruf ikal" yang masih belum terpecahkan bacaaanya sampai sekarang. Demikian pula tentang ukiran sepasang tanda di depan telapak kaki ada yang menduganya sebagai lambang labah-labah, matahari kembar atau kombinasi surya-candra (matahari dan bulan). Keterangan pustaka dari Cirebon tentang bendera Taruma dan ukiran sepasang "bhramara" (lebah) sebagai cap pada mahkota Purnawarman dalam segala "kemudaan" nilainya sebagai sumber sejarah harus diakui kecocokannya dengan lukisan yang terdapat pada prasasti Ciaruteun.
d. Prasasti Jambu
Di daerah Bogor, masih ada satu lagi prasasti lainnya yaitu prasasti batu peninggalan Tarumanagara yang terletak di puncak Bukit Koleangkak, Desa Pasir Gintung, Kecamatan Leuwiliang. Pada bukit ini mengalir (sungai) Cikasungka. Prasasti inipun berukiran sepasang telapak kaki dan diberi keterangan berbentuk puisi dua baris:
shriman data kertajnyo narapatir - asamo yah pura tarumayam nama shri purnnavarmma pracurarupucara fedyavikyatavammo tasyedam - padavimbadavyam arnagarotsadane nitya-dksham bhaktanam yangdripanam - bhavati sukhahakaram shalyabhutam ripunam.
Terjemahannya menurut Vogel:
Yang termashur serta setia kepada tugasnya ialah raja yang tiada taranya bernama Sri Purnawarman yang memerintah Taruma serta baju perisainya tidak dapat ditembus oleh panah musuh-musuhnya; kepunyaannyalah kedua jejak telapak kaki ini, yang selalu berhasil menghancurkan benteng musuh, yang selalu menghadiahkan jamuan kehormatan (kepada mereka yang setia kepadanya), tetapi merupakan duri bagi musuh-musuhnya.
Kesimpulan
Tarumanagara merupakan salah satu kerajaan besar yang beraliran Hindu wisnu. Kadang kerajaan ini sering juga disebut dengan nama kerajaan Taruma. Letaknya ada di sekitar pesisir sungai Cisadane dan Ciliwung yag berkuasa pada abad ke 4 hingga abad ke 7 masehi.
Bukti keberadaan kerajaan Taruma diketahui dari sumber-sumber yang antara lain adalah tujuh buah prasasti yang ditemukan empat di bogor, satu di Jakarta, dan satu di Lebak Banten. Dari prasasti-prasasti ini diketahui bahwa kerajaan dipimpin oleh Rajadirajaguru Jayasingawarman pada tahun 358 M sampai 382 M.
Kerajaan Tarumanegara diperkirakan berkembang antara tahun 400-600 M. Berdasarkan prasasti-prasasti tersebut diketahui raja yang memerintah pada waktu itu adalah Purnawarman. Wilayah kekuasaan Purnawarman menurut prasasti Tugu, meliputi hampir seluruh Jawa Barat yang membentang dari Banten, Jakarta, Bogor dan Cirebon.
Tarumanagara sendiri bertahan hingga pada 669 M dengan masa pemerintahan 12 orang raja. Linggawarman, raja taruma terakhir, digantikan oleh menantunya, Tarusbawa. Linggawarman memiliki dua orang puteri. Yang sulung bernama Manasih dan menjadi istri Tarusbawa dari Sunda, dan yang kedua bernama Sobakancana menjadi istri Dapunthayang Sri Jayanasa pendiri kerajaan sriwijaya. Secara otomatis, takhta kekuasaan tarumanagara jatuh ketangan menantunya dari putrid sulungnya yaitu tarusbawa.
Berakhirnya kekuasaan tarumanagara karena tarusbawa ingin kembali ke daerah asalnya di kerajaan sunda. Sunda sendiri pada saat itu berada di dalam kekuasaan tarumanagara. Atas pengalihan kekuasaan ke sunda ini, hanya galuh yang tidak sepakat dan memutuskan untuk berpisah dari sunda yang mewarisi wilayah tarumanagara.
Beberapa prasasti yang ditemukan:
o Prasasti Kebon Kopi, dibuat sekitar 400 M
o Prasasti Tugu, ditemukan di Kampung Batutumbu, Desa Tugu, Kecamatan Tarumajaya, Kabupaten Bekasi
o Prasasti Cidanghiyang atau Prasasti Munjul
o Prasasti Ciaruteun, Ciampea, Bogor
o Prasasti Muara Cianten, Ciampea, Bogor
o Prasasti Jambu, Nanggung, Bogor
o Prasasti Pasir Awi, Citeureup, Bogor
DAFTAR PUSTAKA
Notosusanto, Nugroho, dkk. 1993. Sejarah Nasional Indonesia II. Jakarta: Balai Pustaka.
Ekadjati, Edi S. dkk. 1987. Pustaka Rajya-rajya Bhumi Nusantara. Bandung: Depdikbud.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar